08 Juli 2009

quick count vs survey kampanye

baru saja pilpres 2009 berakhir. sampai saat saya menuliskan artikel ini, proses penghitungan quick count pun belum selesai. tapi tampaknya dari beberapa hasil quick count, kita dapat mengambil kesimpulan cepat bahwa kubu SBY-Boediono telah dapat diperkirakan akan menjadi pasangan prsiden dan wakil presiden periode 2009-2014.

memang banyak pihak yang tidak mau mengakui keakuratan hasil quick count, terutama dari pihak yang dinyatakan kalah dalam quick count. akan tetapi saya pribadi berpendapat bahwa quick count saat ini sudah memiliki tingkat akurasi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. sehingga sudah cukup bisa menggambarkan secara umum apa yang akan terjadi pada penghitungan real time KPU.

satu hal yang perlu diingat para pembaca sekalian adalah, quick count berbeda dengan survey yang biasa kita dengar sewaktu masa kampanye, meskipun diselenggarakan oleh pihak atau lembaga survey yang sama.

maksud saya adalah, quick count yang diselenggarakan oleh suatu lembaga survey "A" misalnya, lebih memiliki tingkat "kejujuran" dan "ketepatan" yang lebih baik jika dibandingkan dengan suatu survey pada masa kampanye yang dibuat juga oleh lembaga survey "A" tersebut tadi.

mengapa bisa demikian?

itu karena, quick count didasarkan pada data real (bukti nyata yang diperkuat dengan dokumentasi tertulis) dan tidak ada kepentingan politis apapun di dalamnya, karena toh masyarakat telah menentukan pilihannya, sehingga hasil quick count tidak akan berpengaruh apa-apa pada hasil suara yang akan didapatkan nanti. yang ada hanyalah kepentingan bisnis masing-masing lembaga survey dalam membangun citra bahwa lembaganya lah yang paling akurat dan tercepat dalam melakukan penghitungan suara. sehingga lagi-lagi, ini justru makin membuat kinerja tiap-tiap lembaga survey makin maksimal dalam mengeluarkan hasil kerjanya.

hal tersebut berbeda dengan survey yang kita sering dengar pada masa kampanye. itu karena pada proses survey, banyak kepentingan yang "bermain" di dalamnya.

sebagai contoh : misalnya jika ada survey "siapakah calon presiden yang paling anda kagumi?"

si lembaga pembuat survey, dapat membuat pertanyaan seputar tema di atas, yang dapat mengarahkan atau menggiring para koresponden (yang menjawab pertanyaan/ rakyat) untuk memilih salah satu calon presiden. sehingga, kita sebagai orang yang diberikan pertanyaan (koresponden), bisa memberikan jawaban bahwa kita mendukung 2 capres yang berbeda hanya karena pertanyaan yang diberikan oleh si lembaga survey tadi sedikit saja di rubah.

oleh karena itu, kepentingan politik para capres sangat berperan disini. siapa yang mau membayar lebih kepada salah satu lembaga survey, maka si lembaga survey tadi akan membuatkan survey yang mengunggulkan capres tersebut.

pertanyaannya, apa keuntungan yang didapat capres jika ada survey yang mengunggulkan dirinya?

jawabannya adalah :
karena adanya faktor psikologis pada diri kita sebagai calon pemilih. kita pada umumnya cenderung akan lebih mendukung atau memilih sesuatu yang memang sudah banyak orang dukung atau gunakan.

misalnya : banyak orang suka motor Honda (maaf bukan iklan....), akibatnya jika kita pada saat ingin membeli motor nanti, kita pasti akan lebih sedikit menjadikan motor Honda sebagai pilihan kita paling tidak, apalagi kalau kita tidak mengerti sama sekali tentang motor dan mesin otomotif, sudah pasti motor Honda adalah satu-satunya motor pilihan kita, padahal ada merek motor lain yang juga sama berkualitasnya.

hal yang sama juga berlaku pada saat survey tentang presiden tadi. kita tentunya akan lebih terdorong mendukung salah satu capres yang kita dengar mendapat poling survey tinggi. apalagi jika kita sedang dalam keadaan bimbang diantara capres-capres yang ada (alias ga tau harus milih siapa..hehehehe).

jadi intinya adalah, quick count berbeda dengan survey masa kampanye. quick count jauh lebih dapat dipertanggung jawabkan hasilnya ketimbang survey-survey masa kampanye. oleh karena itu, mulai saat ini, kita sebagai rakyat Indonesia yang sudah mulai mau "CERDAS", sebaiknya sudah dapat membedakan tingkat "kejujuran" dan "akuntabilitas" antara quick count dan survey-survey tadi, dan jangan mau lagi "digiring" oleh suatu opini publik palsu melalui survey-survey yang akan diberikan di masa yang akan datang. karena itu hanya akan merugikan diri kita sendiri dan bangsa Indonesia tentunya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hmm..pengantar yang cukup masuk akal